MELEBUR “AKU” MEMBANGUN “KITA”, BERSANDAR IKHLAS
Penulis: Imam Khoiri (Sekretaris Yayasan SPA Indonesia)
Kehinaan adalah sesuatu yang akan lekat dalam diri manusia, kapan pun dan dimana pun. Artinya, diri manusia tidak punya nilai, rendah dan tidak diperhitungkan. Inilah yang Allah ingatkan dalam Ali Imran 112:
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia.” (Ali Imran: 112)
Namun dengan rahmatNya, Allah memberikan solusi untuk keluar dari kehinaan. Ada dua syarat yang harus dipenuhi.
Pertama, menjalin hubungan kuat dengan Allah melalui jalan penghambaan (ta’abbud). Kita meneguhkan komitmen tauhid, yakni hanya menuhankan Allah SWT semata. Kita lenyapkan tuhan-tuhan di dalam diri dan di sekitar kita, baik dalam bentuk hawa nafsu dan godaan pesona duniawi. Tauhid ini akan melahirkan komitmen sami’na wa atha’na, kami dengar dan kami taat atas perintah Allah.
Namun ta’abbud ini tidak bisa kita lakukan tanpa tawadhu’. Tawadhu lahir dari kesadaran tetang asal usul kedirian manusia yang terbuat dari materi yang hina. Bukankah manusia berasal dari lumpur yang tak bernilai. Bahkan ketika lumpur menempel di badan, orang akan segera membersihkan diri. Ketika manusia akan lahir ke dunia, dia berlumur darah. Lalu apa yang hendak dibanggakan?
Namun boleh jadi, manusia lupa denga asal usulnya lalu bangga dengan dirinya. Kebanggan ini akan menjadi penghalang ta’abbud. Ketika kebanggaan diri masih ada, seringkali ta’abbud berubah untuk melayani kepentingan diri. Ibadah menjadi alat untuk melayani nafsu, bukan sebagai tujuan. Selama keangkuhan masih belum terkubur, berarti masih ada kesombongan yang menjadi dosa terbesar Iblis sehingga terlempar dari arena rahmat Allah dan terjerumus dalam jurang laknat.
Kedua, berlaku lembut dan kasih kepada manusia (hablum min an-nas). Pilihan kata nas, dalam Al-Qur’an, tentu bukan tanpa alasan. Kata nas mengandung pengertian bahwa interaksi sosial yang kita bangun hendaknya berlandaskan pada keramahan dan kasih sayang, sebagaimana fitrah kelahiran manusia. Lihatlah, setiap bayi yang lahir akan membawa aura kasih, yang membuat orang-orang di sekelilingnya tersenyum bahagia.
Sikap lembut dan ramah ini menjadi landasan dalam setiap interaksi antar sesama. Diawali dengan saling mengenal, sehingga muncul saling pengertian, saling terbuka, lalu muncul rasa saling membutuhkan, saling topang dan muncul rasa kebersamaan. Pada saat itulah, AKU telah melebur menjadi KITA. Rasa kesatuan inilah yang kita butuhkan dalam menjalankan amanah dakwah di Yayasan SPA Indonesia sehingga kita akan saling menguatkan ibarat satu tubuh.
إنَّمَا الْأُمَّةُ الْوَحِيْدَةُ كَالِجسْ # مِ وَأَفْرَادُهَا كَالْأعْضَاءِ
كُلُّ عُضْوٍ لَهُ وَظِيْفَةُ صُنْعٍ # لَا تَرَى اْلجِسْمَ عَنْهُ فِى اسْتِغْنَاءِ
“Perumpamaan kesatuan itu layaknya satu tubuh, setiap bagiannya ibarat anggotanya. Masing-masing memiliki peran sesuai design penciptaan. Tidak pernah Anda melihat ada anggota tubuh yang tercipta sia-sia tanpa peran.”
Dua bait syair ini memberikan ilustrasi dan inspirasi, agar kita harus utuh dan menyatu. Setiap kita punya tugas dan fungsi masing-masing, namun terkontrol dalam satu kesatuan, satu kesadaran persaudaraan, satu ikatan melaksanakan amanah dakwah.
Kita hadir untuk memberikan karya terbaik dan tidak perlu bertanya tentang balasan yang akan kita dapatkan. Kita berbuat baik karena kita tahu kebaikan itu memang harus dilakukan, semata menjalankan perintah Tuhan. Inilah makna keikhlasan.
Tugas kita adalah menanam. Kita tidak memerlukan komentar dan apresiasi orang lain.
من دلائل الاخلاص اسقاط اعبار الناس
“Salah satu tanda ikhlas adalah membuang jauh-jauh angan-angan penilaian orang.”
Kita asyik dalam amal kebaikan. Kita terus menanam dan tidak perlu bertanya kapan buahnya akan muncul, apalagi menuntut untuk menikmatinya. Bahkan kita pun bahagia andai orang lain yang memakan buahnya. Namun kita yakin, tidak ada kebaikan yang luput dari hitungan. Entah cepat atau lambat, kini atau esok, manfaat setiap kebaikan akan kembali kepada pelakunya, seperti kata pepatah:
ازرع خيرا تلقه فى طريقك ولو بعد حين
“Tanamlah kebaikan, engkau akan menemukan buahnya walau beberapa saat kemudian.” [ed:DA]