PENTINGNYA KOMUNIKASI DALAM MEMBENTUK SOLIDITAS TIM
Penulis: Imam Khoiri (Sekretaris Umum Yayasan SPA Indonesia)
Dalam mengusung amanah dakwah, dibutuhkan tim yang solid. Sebab dakwah adalah kerja besar dan membutuhkan super tim yang kompak dan harmonis. Untuk terwujudnya super tim, setiap diri sepatutnya memiliki kualitas pribadi yang unggul, yang Allah sebut sebagai ‘ibadur rahman. Ciri ‘ibadur rahman sebagaimana Allah firmankan dalam Al-Furqan: 63
وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Adapun ‘ibadur rahman adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam”.”
Ada dua ciri utama ‘ibadur rahman, yaitu haunan dan qaulan salama. Haunan berarti tawadhu atau rendah hati, bukan rendah diri. Rendah hati artinya humble, sedang rendah diri berarti minder. Kita tidak bisa berkarya dengan baik jika ada rasa minder. Orang yang minder tidak berani mengambil insiatif, apalagi berinovasi sebab dia tidak punya rasa percaya diri.
Lawan rendah hati adalah sombong (kibr). Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim).
Dalam ungkapan lain, menolak kebenaran disebut “ngeyel“. Jika ia diberitahu, dia menolak meski tahu sesuatu itu benar. Ciri kesombongan berikutnya adalah meremehkan orang lain. Dengan pandangan merendahkan dia berkata kepada orang lain, “memang kamu siapa”. Seolah tidak ada yang lebih hebat dibanding dirinya.
Ciri ‘ibadur rahman kedua adalah qaulan salama, perkataannya membawa kesejukan dan kedamaian. Di dalam Al-Quran, ada beberapa ungkapan sejenis yang menunjukkan pola-pola komunikasi, diantaranya qaulan karima (perkataan yang elegan), qaulan ma’rufa (perkataan yang sesuai standar kepatutan umum), qaulan layyina (perkataan yang lembut), qaulan baligha (perkataan yang berbobot dan bermutu), qaulan syadida (perkataan yang tegas). Semuanya ini mencirikan pola komunikasi yang berkualitas.
Secara umum, paling tidak ada tiga cara komunikasi. Pertama, komunikasi agresif, yaitu perkataan terus terang tetapi menyakitkan hati. Perkataannya menyakiti lawan bicara karena dia lebih mementingkan ego daripada kepentingan bersama. Dia berbicara dengan emosi, tidak dengan empati. Fokusnya adalah “memenangkan” argumen dan pendapatnya dengan cara apa pun. Gaya komunikasi ini biasa digunakan oleh orang narsis dan penindas. Namun, tidak menutup kemungkinan, siapa pun bisa menjadi komunikator yang agresif. Dalam bahasa Jawa, katanya-katanya “Nylekit“, lidahnya tajam, perkataannya menghunjam. “Mak jleb“, sehingga “sakitnya di sini”. Ucapan yang dia keluarkan ibarat sembilu yang menyayat dan melukai orang lain. Semakin banyak komunikasi, semakin banyak orang yang dia lukai. Musyawarah yang seharusnya melahirkan keputusan-keputusan solutif, jika diikuti oleh orang-orang dengan gaya komunikasi agresif, akhirnya lebih menjadi ajang menunjukkan kekuatan gagasan dirinya dengan melukai dan merendahkan orang lain.
Kedua, komunikasi pasif, yaitu pola komunikasi yang lebih mengalah. Dia tidak mau ribut, sehingga enggan menyampaikan gagasan apalagi meluruskan pandangan orang lain. Daripada ribut dengan orang lain, lebih baik diam. “Wis ben, sing waras ngalah,” (sudahlah, yang waras mengalah). Dia berusaha untuk tidak terlibat konflik dan bahkan tidak membela dirinya sendiri. Dia enggan untuk mengungkapkan pendapat atau perasaannya, dan mengikuti tuntutan atau kemauan orang lain. Akhirnya orang ini akan ikut dengan arus kuat yang dominan. Celakanya, jika arus dominan itu membawa pada arah yang salah, otomatis dia akan ikut celaka. Orang dengan gaya komunikasi pasif cenderung tidak percaya diri, mudah percaya dengan orang lain, sulit mengenali diri sendiri, dan sulit mengambil keputusan sendiri.
Ketiga, komunikasi asertif. Ini pola komunikasi yang efektif, yaitu komunikasi yang lugas tapi tidak menyakitkan. Dia dapat menyampaikan pendapatnya secara lugas tanpa menyinggung orang lain baik secara verbal maupun non-verbal. Keterampilan berkomunikasi seperti ini akan menumbuhkan rasa saling menghargai dan terbuka. Komunikasi berjalan secara singkat, jelas, dan efektif, dengan tetap menjaga rasa hormat kepada lawan bicara. Komunikasinya berbobot, kuat dan tegas namun tetap tenang dan santai. Komunikasi asertif akan membuka peluang untuk diskusi terbuka dan berbagi pendapat. Setiap gagasan didengar dan dipertimbangkan dengan hormat untuk mencapai solusi yang paling baik. Pada akhirnya, komunikasi asertif akan berdampak pada memperkuat hubungan, minim konflik dan ketegangan, dan memberi dukungan saat menghadapi masa-masa sulit.
Tantangan setiap pejuang dakwah adalah bagaimana kita memiliki ciri ‘ibadur rahman dan sekaligus mampu menjadi bagian tim solid karena setiap kata yang dia keluarkan membawa manfaat kebaikan dan menghadirkan kenyamanan bagi siapa pun yang ada di sekelilingnya. Jadilah ‘ibadur rahman sekaligus komunitor yang asertif. [ed:DA]