SYUKUR DAN HIKMAH
Penulis: Dr. Ali Mahmudi (Ketua Umum Yayasan SPA Indonesia)
Kapan biasanya kita bersyukur? Tabiatnya, bersyukur hanya akan kita lakukan apabila melihat sisi-sisi baik atau menyadari hadirnya karunia. Namun, sesungguhnya logika implikatif itu berlaku pula sebaliknya. Sisi-sisi baik dan beragam karunia itu justru baru akan tampak jelas dengan bersyukur. Logika inilah yang dapat kita ambil inspirasinya dari Q.S. Ibrahim 7.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih“.
Bersyukur ibarat wiper kaca depan kendaraan yang apabila difungsikan akan membuat jelas pandangan. Demikianlah, bersyukur menjadikan jelas pandangan kesadaran akan nikmat karunia Allah SWT yang beragam dan tiada henti. Salah satu karunia yang dapat terbuka dengan bersyukur adalah sebagaimana Alloh SWT firmankan dalam Q.S. Luqman 12, yakni bahwa syukur itu merupakan tabiat atau penanda bagi orang yang diberi hikmah oleh Alloh SWT.
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ ۚ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: ‘Bersyukurlah kepada Alloh. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
Hamba-hamba yang penuh syukurlah yang berpeluang besar untuk memperoleh hikmah dari Alloh SWT. Sebaliknya, orang yang diberikan hikmah oleh Alloh SWT akan mudah bersyukur. Bahkan syukur itu sendiri merupakan hikmah dari Alloh SWT. Selanjutnya, mari kita perhatikan ayat berikutnya, Q.S. Luqman 13.
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
Pada ayat 13, Luqman memberikan nasihat yang sangat mulia kepada putra beliau untuk menjauhi syirik. Ayat ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari ayat sebelumnya tentang hikmah dan syukur. Dari susunan urutan ayat, kita dapat mengambil inspirasi bahwa pendidikan mulia mesti diawali dan dilakukan dengan penuh hikmah dan syukur. Syukur merupakan prasyarat utama bagi pendidik. Pendidik yang memiliki jiwa penuh syukur akan dapat memberikan pendidikan dan teladan penuh hikmah. Sebaliknya, tanpa hikmah, pendidikan hanyalah proses mekanistik transfer ilmu tanpa makna.
Apa itu hikmah? Hikmah adalah kebaikan yang banyak. Hikmah adalah pemahaman yang benar, ilmu yang bermanfaat, penjelasan yang baik, dan ucapan yang lurus. Hikmah adalah kelembutan dan cinta serta niat yang ikhlas. Hikmah adalah penghormatan dan keadilan – tidak berbuat dzolim, yakni menempatkan sesuatu secara layak sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Alloh SWT.
Hikmah diperlukan oleh siapapun dalam menjalani amanah-amanah kehidupan. Pendidikan memerlukan hikmah. Pendidikan dengan hikmah adalah pendidikan yang didasarkan pada ilmu dengan mempertimbangkan kebaikan dari segala sisi dengan matang dan dilakukan secara adil dan bijaksana. Bahkan hikmah dan keadilan menjadi penanda bagi intelektualitas dan representasi keilmuan.
Suatu ketika, seseorang mengirim surat kepada Ibnu Umar untuk menuliskan segala hal tentang ilmu. Tentu saja tidak mungkin karena ilmu sangat luas. Lantas, jawab Ibnu Umar, “Sungguh ilmu itu sangat luas. Namun, bila engkau mampu bertemu Allah SWT dengan meninggalkan pertumpahan darah sesama muslim, membiarkan perut tetap kosong dari harta sesama muslim, menjaga lisan agar tidak menjatuhkan kehormatan sesama muslim, dan setia kepada kaum muslimin, maka lakukanlah.” Demikianlah, representasi seluruh ilmu itu adalah hikmah, keadilan, dan tidak berbuat dzolim dengan beragam bentuknya.
Pendidikan tidak hanya memerlukan beragam strategi dan teknologi, melainkan juga ilmu dan pemahaman yang tentang hakikat pendidikan, juga hikmah – cinta – keadilan. Inilah yang mungkin bisa menjelaskan meski orang tua – orang tua terdahulu yang pada umumnya tidak berpendidikan tinggi, namun mereka bisa mendidik dan memberi teladan dengan baik, karena dilakukan dengan hikmah dan penuh syukur.
Sejatinya, bersyukur tidak mudah dilakukan karena jiwa yang cenderung berkeluh kesah (Q.S. Al-Ma’arij 19). Namun, Alloh SWT mengajari kita untuk berdoa agar mudah bersyukur, “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu …. “ (QS. An Naml 19).
Demikianlah, bersyukur adalah keniscayaan ketika mendapati karunia dan sebaliknya bagi insan beradab, bersyukur dan memuji Alloh SWT dalam segala hal – alhamdulillah ala kulli hal – akan membuka berbagai karunia lainnya. Apakah kita sudah bersyukur hari ini? [ed:DA]