MERENUNGKAN TENTANG KEDISIPLINAN
Penulis: Imam Khoiri (Sekretaris Umum Yayasan SPA Indonesia)
Beberapa hari terakhir, dunia pendidikan kembali dikejutkan dengan terjadinya tindak kekerasan pada seorang santri, di salah satu pesantren di Kediri. Seorang santri berumur 14 tahun tewas dianiaya kakak tingkatnya. Pesantren adalah tempat yang selama ini dianggap aman sehingga orang tua percaya untuk menitipkan anaknya. Terjadinya kasus kekerasan, membuat kita terperanjat. Benarkah ini menandai adanya fenomena gunung es karena boleh jadi ada kasus serupa dengan beragam level yang tidak terungkap dengan berbagai alasan. Ada apa dengan dunia pendidikan kita?
Lembaga Pendidikan saat ini memiliki sarana dan prasarana yang lebih baik dibanding masa lalu. Namun problem kejiwaaan di zaman ini tampaknya semakin kompleks. Boleh jadi, kecukupan fasilitas, budaya instan dan berbagai kemudahan yang didukung oleh kemajuan teknologi, membuat anak-anak kita tidak sabar menjalani proses dan lebih berorientasi pada hasil. Mereka lebih menghargai dan memprioritaskan hasil dan kepuasan langsung daripada tujuan jangka panjang. Budaya instan ini diperkuat oleh media sosial, makanan cepat saji, kemudahan belanja online, hiburan online dan lainnya. Akibatnya, anak-anak cerdas akalnya, tapi rapuh mentalnya. Mereka tidak memiliki ketangguhan untuk menghadapi tekanan, mudah stress, frustasi dan rentan mengalami gangguan kejiwaan.
Tahun 2022, Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), melakukan survei untuk mengukur angka kejadian gangguan mental pada remaja 10-17 tahun di Indonesia. Hasilnya, satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Gangguan mental yang paling banyak diderita adalah gangguan cemas, depresi mayor, gangguan perilaku, stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD). (https://ugm.ac.id/id/berita/23086-hasil-survei-i-namhs-satu-dari-tiga-remaja-indonesia-memiliki-masalah-kesehatan-mental/) Hal yang sama juga terjadi pada anak-anak usia SD. Ada 7 masalah kesehatan mental yang sering terjadi, mulai dari gangguan kecemasan, Attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD), autisme, gangguan makan, depresi dan gangguan mood, gangguan stres pasca-trauma dan skizofrenia. Inilah gambaran anak-anak kita saat ini.
Dengan kondisi mental yang beragam, mereka saling berinteraksi. Di sekolah, dimana anak-anak berkumpul dalam jumlah besar, potensi konflik itu hampir pasti mengintip dari segala arah. Terlebih di pesantren, dengan durasi interaksi 24 jam, apa saja bisa menjadi pemicu konflik antar siswa. Seandainya orang-orang yang berkumpul secara mental kejiwaan telah matang dan patuh pada standar moral yang tinggi, konflik mudah diredakan dan dicarikan solusi. Tetapi sekolah dan pesantren secara umum, berisi anak-anak yang masih harus dididik agar mengerti dan patuh pada standar moral yang diharapkan. Jika potensi konflik karena berhimpunnya manusia di satu tempat saja sudah besar, apalagi ditambah dengan jiwa-jiwa anak yang labil dan belum matang.
Pada akhirnya, proses keberlangsungan pendidikan ini akan berpusat pada figur guru dan pembimbing. Tantangan kita adalah bagaimana mengantarkan anak-anak memiliki jiwa yang sehat dan patuh pada standar nilai moral. Kejiwaan seseorang dikatakan sehat jika dia mampu menghadapi tekanan, tetap berkarya secara produktif dan bermanfaat untuk orang lain. Pada saat yang sama, dia memiliki kesanggupan untuk melaksanakan perintah, dan kuat menahan diri untuk menghindari larangan. Inilah esensi taklif agama.
Untuk mewujudkannya, paling tidak ada dua hal yang perlu kita upayakan. Pertama, membangun kedisiplinan. Tiada sukses tanpa disiplin. Pendidikan mesti dimulai dari sini, dengan penetapan SOP dan penegakan peraturan. Saya pernah mendengar cerita dari (alm) Pak Zaenal tentang kisah sukses SD Muhammadiyah Sapen. Sekolah ini berdiri tahun1967, dengan bermodal niat, semangat, dan keikhlasan. Keberadannya ditangggapi pesimis karena awalnya hanya menempati mushala berukuran 3×4 m, lalu pindah ke balai RK. Ruangannya berukuran 6×6 m, dengan dinding gedhek yang sudah rapuh. Siswanya juga tidak banyak.
Bertahap perubahan dilakukan, diantaranya diawali dengan penegakan disiplin ketat. Dimulai saat upacara bendera, Pak Tris, selaku kepala sekolah mendeklarasikan komitmen disiplin ketat. Seluruh siswa dan guru datang tepat waktu, tidak boleh ada keterlambatan. “Mulai besok, jika ada yang datang terlambat, harus lari bolak balik dari jalan Jl. Timoho ke sekolah.” Jaraknya kira-kira 300m. Ketentuan ini berlaku tidak hanya bagi siswa namun juga bagi seluruh guru.
Sore harinya, secara diam-diam Pak Tris bilang ke wakil kepala sekolah, bahwa besok dia akan datang terlambat. “Tolong saya dihukum!,” katanya. Keesokan harinya, Pak Tris datang terlambat. Ban motor vespa-nya, sengaja digembos. Wakil kepala sekolah yang standby di pintu gerbang, menegur Pak Tris. Akhirnya, Pak Tris dihukum, lari bolak balik dari sekolah ke Jalan Timoho. Anak-anak yang menyaksikan kepala sekolahnya dihukum berkata dalam hati, “Waduh…. kepala sekolah saja dihukum, apalagi muridnya.” Sejak itu, diam-diam semua bertekad untuk tidak terlambat datang ke sekolah.
Awalnya tentu banyak yang merasa tidak nyaman, berontak dan menolak. Tetapi, kemampuan untuk menghadapi ketidaknyamanan inilah sesungguhnya yang membuat mental kita sehat dan tangguh. Konsistensi penegakan disiplin ini dalam jangka panjang melahirkan budaya disiplin, tertib dan pada gilirannya berdampak pada prestasi dan keunggulan.
Tidak ada kompromi terhadap tindakan indisipliner. Setiap pelanggaran mesti ditindak. Dimulai dari disiplin jam datang, dilanjut dengan disiplin jam masuk kelas. Misalnya, jika jam 7 dimulai pelajaran, maka semua siswa sudah siap belajar di dalam kelas, baik ada gurunya maupun tidak. Tidak ada siswa yang berkeliaran di luar kelas. SOP dilaksanakan mulai SOP di kelas, penggunaan toilet, tempat sampah dan seterusnya. Ketertiban menjadi gaya hidup bersama.
Masalahnya, di banyak tempat, tidak jarang semangat disiplin itu melemah lalu mulai memberikan keringanan dan memaklumi ketidakdisiplinan. Padahal permakluman ini menjadi awal bagi pelanggaran-pelanggaran selanjutnya. Dalam kriminologi ada teori “Broken Windows Theory” (Teori Jendela Pecah). Menurut teori ini, apabila kejahatan ataupun ketidakdisiplinan kecil dibiarkan maka akan lebih banyak orang melakukan hal yang sama dan bahkan menyebabkan terjadinya kejahatan dalam skala yang lebih besar. Teori ini didapat dari hasil observasi bahwa beberapa jendela pecah di satu permukiman, memicu orang-orang untuk memecahkan jendela-jendela lainnya.
Artinya, mentoleransi sebuah ketidakdisiplinan akan memicu lahirnya pelanggaran-pelanggaran berikutnya. Dalam istilah Jawa, “kriwikan dadi grojokan”. Aliran kecil yang membobol dinding, pada saatnya akan membesar jika tidak segera ditangani. Misalnya, ketika angka membolos sekolah tinggi, biasanya akan ada rentetan kasus ikutan lainnya, misalnya terjadinya pencurian, pacaran dan lainnya. Maka, tindakan membolos tidak lagi bisa ditoleransi dan dibiarkan. Sebaliknya, tidak ada pelanggaran besar yang terjadi tiba-tiba. Terjadinya masalah besar, bisa ditelusuri dan dirujuk balik atau dilacak mundur sebab musababnya dari hal-hal kecil sebelumnya. Setiap datangnya peristiwa, pasti ada tandanya.
Kedua, komitmen untuk membangun kedisiplinan tanpa kekerasan. Penegakan disiplin adalah sebuah keharusan. Bahkan di tengah rapuhnya mentalitas anak-anak remaja saat ini, mereka perlu dilatih untuk menanggung beban untuk melatih otot-otot jiwanya sehingga mereka tidak mudah berkeluh kesah apalagi putus asa. Namun konsekuensi atas pelanggaran ini harus dilakukan dalam konteks ta’dib, yaitu hukuman yang bersifat mendidik, dan membangun kesadaran untuk menyadari kesalahan dan kembali pada kebenaran. Hukuman berupa kekerasan verbal maupun fisik, adalah tindakan yang tidak boleh dilakukan. Komitmen inilah yang harus kita pegang dalam mengantarkan anak-anak kita ke depan. Rumusan detailnya tentu perlu dipikirkan, dan dituangkan ke dalam SOP yang menjadi acuan dalam penyelenggaraan pendidikan. Kita perlu memikirkan penegakan disiplin dengan model seperti apa yang tepat untuk dilakukan. [ed:DA]