IKHLAS, MODAL UTAMA PERJUANGAN

IKHLAS, MODAL UTAMA PERJUANGAN

Penulis: Imam Khoiri (Sekretaris Umum Yayasan SPA Indonesia)

Manusia bernilai karena nyawanya. Betapa pun seseorang sangat cantik dan tampan, ketika nyawanya hilang, tidak seorang pun yang mau bersanding dengannya. Bahkan kekasih yang dulu mencintainya, pasangan yang dulu hidup bersama, akan segera menguburkannya. Ruh, menjadikan manusia punya kehidupan. Demikian pula amal.  Ia bernilai karena ruhnya. Ruh amal adalah ikhlas. Amal tanpa ikhlas, ibarat badan tanpa nyawa. Wujudnya ada, tapi tidak ada nilainya. Betapapun amal itu tampak besar dalam pandangan mata manusia, sesungguhnya ia tidak bernilai sama sekali. Sebaliknya, sekecil apa pun amal, jika di dalamnya ada ruh ikhlas, akan bernilai besar di sisi Allah.

Ikhlas adalah modal utama seorang guru dalam melaksanakan perannya. Ikhlas harus mendasari setiap jengkal tugas keguruan. Tanpa ikhlas, semua jerih payah hanya akan berbuah lelah.

Bagaimana cara menanamkan ruh ikhlas dalam amal? Ikhlas terwujud ketika kita tak lagi peduli dan memperhitungkan siapa pun selain Allah. Alasan, motivasi dan tujuan amal, semata-mata karena Allah. Setiap amal dilakukan dalam ikatan kontrak antara dirinya dengan Allah. Tidak ada pihak lain yang terlibat. Tidak ada yang dia harapkan selain ridha Allah. Tidak ada keinginan untuk mendapat pujian dan sanjungan, komentar dan apresiasi, like & share, atau pun ucapan terima kasih, dari siapa pun. Langkahnya tidak terhenti karena dicaci, dan tidak semakin laju karena dipuji.

Orang ikhlas hidup dalam kemerdekaan sejati. Dia tidak diombang-ambingkan oleh pendapat dan komentar orang-orang di sekitarnya. Dia tetap tenang dan terus berkarya. Dia tak henti untuk memberi meski tidak ada apresiasi. Bahkan dia tetap memberi meski balasan buruk yang ia hadapi, ibarat air susu dibalas air tuba. Layaknya kelapa, seluruh bagiannya memberi manfaat, meski ia tidak diperlakukan dengan baik. Saat dipetik, kelapa dijatuhkan dari ketinggian. Boleh jadi ia membentur tanah dan bebatuan. Setelah itu, kelapa dilempar dan kadang diletakkan di tempat gelap dan pengap. Saat akan dimanfaatkan, sabutnya dilepas paksa dengan linggis. Kelapa dipukul hingga pecah. Airnya diambil dan buahnya dicongkel. Tapi lihatlah…seluruh bagiannya memberi kemanfaatan. Itulah gambaran keikhlasan. Manfaat terus diberikan. terlepas apa pun perlakuan yang ia terima.

Orang ikhlas adalah orang yang telah mengubur kepentingan dirinya. Dia telah berhasil mengalahkan nafsu ke-AKU-an yang selalu ingin tampil dan disebut di hadapan khalayak. Nafsu selalu ingin tampil, dihargai dan diapresiasi. “Inilah Aku, itu karyaku, itu berkat kerja kerasku…”, itulah kemauan nafsu.  Ketika ke-AKU-an ini berkuasa, amal dilakukan untuk melayani kepentingan nafsu. Di balik amal, dia berharap balasan orang lain. Ia ingin dilihat, dikomentari dan mendapatkan publisitas. Dia ingin agar dirinya tampil keren di hadapan orang lain. Riya’, sum’ah dan imbalan, menjadi tujuan seluruh aktifitasnya. Dia merasa bahagia dengan sanjungan, dan putus asa karena celaan. Padahal, dia tidak pernah bisa memaksa orang lain untuk selalu memandang, memuji dan menyanjungnya. Pada saat keinginannya tidak dia dapatkan, dia akan menderita. Hidupnya merasa telah kiamat ketika dia berharap pujian dan penghargaan, namun justru mendapat celaan. Hidupnya akan terombang-ambing oleh komentar dan pendapat orang lain yang setiap saat berubah-ubah tak menentu. 

Pada saat nafsu menjadi sesembahan, Allah dia tinggalkan. Sebab antara nafsu dan Allah selalu dalam posisi yang berlawanan. Melayani nafsu berarti meninggalkan Allah. Seperti orang yang berjalan ke utara, pasti akan meninggalkan selatan.

Orang yang ikhlas adalah orang yang telah mengubur ke-AKU-annya. Amalnya terus berjalan, namun dirinya dikubur dalam-dalam di bawah bumi penyamaran. Dirinya tidak tampak, ibarat terkubur di bawah tanah. Semua amal dan kebaikan yang dia lakukan, dikembalikan kepada Allah. Semua itu terjadi berkat karunia Allah semata. Dalam dirinya selalu tertanam kalimat hauqalah, la haula wa la quwwata illa billah. Tidak ada daya upaya untuk melakukan kebaikan atau menolak keburukan kecuali semata karena karunia Allah. Dirinya tidak punya kuasa apa-apa. Karenanya tidak ada yang perlu dibanggakan. Jika ada yang patut dipuji, maka pujian itu adalah milik Allah semata. Dia berucap, Alhamdulillah.

Amal yang dia lakukan adalah wujud peribadatan, semata melaksanakan peran dan tanggung jawab sesuai dengan posisi yang Allah takdirkan. Ketika Allah menempatkan kita sebagai seorang guru, artinya Allah menugaskan dirinya untuk mengajar. Mengajar itulah ibadahnya, setelah ibadah-ibadah mahdhah. Ibadah adalah tujuan, bukan alat. Dia sadar, bahwa tujuan dirinya diciptakan adalah beribadah kepada-Nya. Maka puncak kemuliaan adalah saat kita mampu beribadah. Saat beribadah kita merasa bahagia, “marem” karena Allah berkenan memberikan kemanfaatan lewat lisan, tangan dan tubuh kita. Karena ibadah adalah tujuan akhir, maka setelah beribadah dia tidak lagi bertanya, “mana bagian untukku”. Semuanya sudah selesai. Yang tersisa adalah kebahagiaan. Selebihnya, Allah yang menilai amal kita.

Inilah ikhlas. Modal perjuangan dan landasan kebahagiaan bagi setiap insan. Guru yang ikhlas akan akan berlimpah kebahagiaan dalam setiap tutur kata yang ia sampaikan, dalam setiap perjumpaan dengan murid-muridnya. Inilah guru sejati. Itulah Anda semua, guru-guru Salsabila. Amin. [Ed:DA]

 

No Comments

Add your comment

× Kirim Pesan