BEGITU CEPAT BERUBAH

BEGITU CEPAT BERUBAH

Oleh: H. Imam Khoiri, S.Ag., M.E (Direktur Litbang LPI Salsabila Yayasan SPA Indonesia)

Musim kemarau telah tiba. Beberapa waktu sebelumnya, tetumbuhan masih tampak hijau. Namun, sejak datang kemarau, tanaman yang semula hijau dan segar, berubah menjadi kering, meranggas dan sebagian mati. Begitu cepat semua berubah. Itulah gambaran kehidupan dunia. Dalam Quran surat Al-Kahfi ayat 45, Allah menggambarkan sifat dunia yang fana dan cepat berlalu.

Dunia ibarat air hujan yang turun dari langit. Dengan air itu, tumbuh suburlah tanaman-tanaman di bumi. Tak lama kemudian, tanaman itu kering kerontang, rapuh dan berhamburan diterbangkan angin.

Semua kenikmatan dunia cepat berlalu. Nikmatnya makanan, hanya sebatas tenggorokan. Nikmatnya bulan madu hanya beberapa hari. Nikmatnya bercinta hanya beberapa saat. Cantiknya bersolek segera luntur oleh keringat. Keren dan wanginya baju di pagi hari, berubah menjadi cucian di sore hari. Minuman yang segar berubah menjadi air kencing, beberapa saat setelah diminum.

Tidak hanya itu. Dunia juga sempit. Ia tidak bisa mencukupi keinginan semua orang. Setiap orang punya kepentingan dan memperebutkan dunia yang terbatas. Sebab itu, hidup menjadi ruwet. Pembuat genteng, berdoa agar tidak turun hujan. Sementara penjual jas hujan, menanti datangnya musim hujan. Pada saat sepasang pengantin duduk bahagia di pelaminan, di tempat lain ada yang sedang menangis patah hati karena gagal bersaing memperebutkan gadis pujaan. Begitulah dunia. Sebab itulah orang saling berebut. Tidak semua orang mendapatkan tujuannya. Ibu-ibu di pasar, tarik menarik uang. Mereka tawar menawar.

Ruwetnya dunia ini seringkali menyibukkan hidup manusia. Akhirnya mereka larut dalam permainan, persaingan, kompetisi dan perebutan untuk mendapatkan yang terbanyak dan menjadi yang terkuat. Hakekat dunia adalah la’ibun wa lahwun (Q.S Al-An’am: 32). Semua kenikmatan dan keindahan dunia adalah kesenangan yang menyibukkan manusia hingga lalai untuk melakukan sesuatu yang sungguh-sungguh bermanfaat.

Begitu kata Imam Nawawi dalam tafsirnya. Sayangnya, di dunia ini banyak manusia yang lupa. Rasulullah bersabda:
الناس نيام واذا ماتوا انتبهوا
“Manusia itu tidur. Ketika mereka mati, barulah mereka sadar.”

Tidur itu artinya tidak sadar. Dia tidak bisa melihat kebenaran. Dalam tidurnya, manusia menganggap dalam hidup ini yang penting adalah uang, pengaruh, jabatan, kekuasaan, harta dan kemewahan. Itulah yang dia kejar siang malam. Itulah yang menjadi orientasi hidupnya. Semua urusan dianggap penting jika berdampak pada perolehan dunia. Setiap ada tugas, dia bertanya, “Apakah ada honornya?”. Setiap ada ajakan untuk berbuat, dia bertanya, “Apa yang saya dapatkan?”. Hidupnya kontraktual. Setiap tetes keringat harus diganti dengan rupiah. Tidak ada semangat khidmat, berbagi dan memberi.

Kapan manusia sadar? Setelah kematian datang. Saat itulah, tabir-tabir kepalsuan yang menipu itu tersingkap. Dalam Qur’an Surat Qaf: 22, Allah berfirman,
لقد كنت في غفلة من هذا فكشفنا عنك غطاءك فبصرك اليوم حديد
“Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.”

Setelah mati, manusia baru sadar bahwa yang terpenting bukan mengumpulkan harta tapi bersedekah, bukan berpesta tapi berpuasa, bukan begadang tapi shalat malam, bukan pengaruh tapi ketawadhuan, bukan ketenaran tapi keikhlasan, bukan kekuasaan tapi keadilan.

Begitulah Al-Qur’an mendefinisikan dunia. Sukses hakiki adalah kesuksesan akhirat. Sungguh, rumah akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa (Q.S. Al-An’am: 32).

Maka jangan salah merumuskan definisi tentang dunia dan akhirat. Jadikan dunia sebagai ladang untuk meraih akhirat. Jangan merasa aneh dengan dunia yang ruwet, repot, cepat berubah dan tidak bisa memenuhi semua keinginan. Jangan pula menjadikannya sebagai alasan untuk menunda amal. Jangan pernah menunggu tidak repot, baru akan beramal. Selama Anda di dunia, yang ada adalah kerepotan demi kerepotan. Bahkan Ibadah sendiri adalah kerepotan. Maka, beramallah, berkarya lah, apa pun keadaannya. Tidak ada yg perlu ditunggu.

Kenikmatan yang sesungguhnya ada dalam kehidupan mendatang. Sungguh bahagia mereka yang yakin dan sungguh-sungguh bersiap untuk kesuksesan akhirat. Sebab akhirat itu, dari semua sisi lebih baik dari dunia. Wal akhiratu khairun laka minal ula.

Sumber gambar: jogja-training.com

 

No Comments

Add your comment

× Kirim Pesan