MURAQABAH, Merasa Diawasi Allah

MURAQABAH, Merasa Diawasi Allah

Penulis: Imam Khoiri (Sekretaris Umum Yayasan SPA Indonesia)

Diantara adab seorang guru adalah selalu merasa diawasi oleh Allah baik dalam situasi ramai maupun sepi, bersama dengan banyak orang maupun sendiri (ان يديم مراقبة الله فى السر والعلانية). Demikian diterangkan dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim yang ditulis oleh Syaikh Hasyim Asy-‘ari.

Istilah pengawasan, tidaklah asing bagi kita. Dalam tata kelola pemerintahan, terwujudnya good governance, mensyaratkan adanya pengawasan, baik yang dilakukan secara internal maupun eksternal. Pengawasan internal dilakukan oleh unit pengawasan yang berada di bawah lingkup organisasi yang bersangkutan, sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh unit pengawasan di luar organisasi yang bersangkutan. Sebab itu ada BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan inspektorat jenderal untuk mewujudkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan negara dan kinerja lembaga.

Bayangkan. Bagaimana jika tidak ada pengawasan dalam tata kelola pemerintahan? Orang akan berbuat seenaknya dan semaunya karena merasa aman-aman saja. Selagi ada mekanisme pengawasan saja, masih begitu banyak penyimpangan yang terjadi. Sebagian penyimpangan itu terkuak. Sementara sebagian lainnya tak terdeteksi.

Seiring dengan perkembangan teknologi, dikembangkan teknologi pengawasan. Kita mengenal CCTV (Closed Circuit Television), yaitu kamera keamanan yang dipasang guna mengawasi keadaan sekitar, dilengkapi dengan layar monitor yang disambungkan oleh sinyal. CCTV adalah produk yang dikembangkan dalam rangka pengawasan, biasanya dipasang di tempat strategis, guna memantau dan merekam kejadian yang berlangsung. Dengan CCTV, pelaku kejahatan akan lebih waspada. Tak jarang kita melihat tempelan “Perhatian…area ini dalam pengawasan CCTV 24 jam”. Ini semata untuk membangun kesadaran bahwa perilaku kita sedang diawasi, sehingga kita berhati-hati dan tidak melakukan pelanggaran. Demikian juga di dunia militer, dikembangkan berbagai teknologi yang ditujukan untuk pengawasan.

Ini semua menunjukkan betapa pentingnya pengawasan. Masalahnya, pengawasan oleh manusia dan alat ini sangat terbatas. Manusia bisa lalai. Pengetahuan dan kehadirannya sangat terbatas. CCTV juga bisa rusak atau dirusak. Jangkauan kameranya terbatas pada radius tertentu. Sebab itu, keberadan lembaga dan alat ini penting sebagai sarana yang membantu pengawasan, namun tidaklah memadai.

 * * * *

Namun ada pengawas yang tak pernah lalai, memantau 24 jam tanpa jeda, Dialah Allah SWT. Seluruh hidup kita terpantau dan direkam, kapan pun, di mana pun. Kesadaran atas pengawasan Allah inilah yang disebut ihsan. Rasulullah pernah ditanya, apa itu ihsan? Beliau menjawab:

أَنْ تَعْبـــُدَ اللَّهَ كَأَنَّــكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

(Ihsan adalah) hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, sebab meski engkau tidak melihat-Nya, Dia melihatmu...”

Dalam ungkapan pendek di atas, Ihsan ini ada dua level. Pertama, merasakan hingga seolah “melihat” Allah. Ini adalah derajat mukasyafah, seperti yang dirasakan oleh Nabi dalam saat shalat, “…dan dijadikan shalat itu sebagai kebahagiaan/ pelipur laraku…”. Kedua, merasa diri kita diawasi oleh Allah. Ini adalah derajat muraqabah. Kedua derajat ini adalah ihsan.

Orang yang hidupnya dalam kesadaran ihsan, disebut muhsin.  Merekalah orang-orang yang beruntung. Mengapa? Karena orang muhsin akan selalu menjaga diri dalam semua keadaannya. Manusia tidak akan lepas dari tiga keadaan; melakukan ketaatan atau kemaksiatan atau hal yang mubah. Dalam taat, orang yang merasa diawasi Allah akan menjaga keikhlasan, menyempurnakan amal, menjaga adab dan melindungi amalnya dari cacat.

Ketika sedang terpeleset dalam kemaksiatan, orang yang memiliki kesadaran muraqabah, akan segera bertaubat, meninggalkan kemaksiatan, malu, dan sibuk beristighfar, tafakkur dan memperbaiki diri. Ketika sedang melakukan hal-hal yang mubah, orang yang memiliki kesadaran muraqabah, akan menjaga adab, selalu melihat hadirnya Allah dalam setiap nikmat yang dia terima.

Dalam hidup, manusia hanya punya dua kemungkinan nasib; antara ujian yang mengharuskan sabar atau nikmat yang mengharuskan syukur. Sabar dan syukur, keduanya adalah baik. Namun ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang muhsin.

=======

Orang muhsin pasti memiliki kinerja dan kontribusi yang luar biasa. Orang muhsin akan selalu berpacu untuk melaksanakan fardhu, menghindari larangan, dan meraih amal-amal keutamaan.

Makna kata ihsan sendiri bersifat khusus meski secara umum diartikan “baik”. Dalam bahasa Arab ada banyak kata yang sering diartikan “baik” padahal masing-masing memiliki pengertian yang spesifik. Ada kata khair, ma’rûf, hasan atau ihsân, shâlih dan birr. Semua kata ini diterjemahkan dalam arti “baik”.

Tapi baik arti ihsan ini berbeda. Para ulama mengungkapkan makna “baik” yang terkandung di dalam kata ihsân berdasar ungkapan Nabi Isa ‘alaihis salâm:

ليس الإحسان أن تحسن إلى من أحسن إليك ذلك مكافأة، إنما الإحسان أن تحسن إلى من أساء إليك

Artinya: “Ihsan bukanlah engkau berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepadamu, itu namanya berbalasan. Hanya dikatakan ihsan bila engkau berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepadamu.” (Syekh Nawawi Banten, Tafsîr Marâh Labîd, Beirut: Darul Fikr, juz I, hal. )

Ketika tetangga Anda memberikan semangkok bakso lalu keesokan harinya Anda membalas dengan memberinya semangkok bakso, itu perbuatan berbalas yang sepadan tapi tidak masuk pengertian ihsan. Namun bila Anda membalas pemberian dengan dua mangkok bakso, itu ihsan. Apalagi jika tetangga Anda tidak pernah memberi apa-apa, bahkan memfitnah dan menjelek-jelekkan Anda, namun Anda tetap berbuat baik bahkan mengirimkan hadiah kepadanya, itulah ihsan.

Dalam A-Qur’an surat Ali Imron: 134, Allah menyebut tiga golongan orang muhsin. Pertama, orang-orang yang selalu berinfak baik dalam keadaan senang maupun susah, ketika kaya atau miskin, dan baik diberikan kepada orang yang ia sukai maupun yang tak ia sukai bahkan ketika dia sendiri membutuhkan. Kedua, orang yang mampu menahan amarahnya karena semestinya ia mampu untuk membalas kejahatan yang ia terima. Ketiga, orang yang mudah memaafkan dan menghapus kesalahan orang lain, karena pemaafannya telah menghindar orang itu dari tuntutan di hari kiamat kelak.

Merekalah orang muhsin, yakni orang yang melakukan kebaikan lebih dari yang semestinya. Bagaimana bisa mereka melakukannya? Sebab dia merasa selalu dalam pengawasan Allah. Dia yakin, tidak ada keburukan yang tidak dicatat, tidak ada kebaikan yang tidak dibalas. Dia mengejar keutamaan amal karena setiap amalnya dia ikatkan dalam kontrak keihlasan antara dirinya dengan Allah, bukan dengan manusia. Kesadaran inilah yang harus kita bangun dalam diri kita, para pejuang SPA Indonesia. [Ed:DA]

 

No Comments

Add your comment

× Kirim Pesan