AWAS BUDAYA TIKTOK!

AWAS BUDAYA TIKTOK!

Penulis: KH. Dr. Khoiruddin Bashori (Ketua Pembina Yayasan SPA Indonesia)

Akhir-akhir ini pendidik sering mengeluhkan siswa yang lebih suka bermain-main, bercanda, dan kurang serius dalam belajar. Mereka tampak kurang mendalam ketika dimintai pendapat. Lebih suka narasi pendek dan enggan repot-repot membaca teks panjang. Budaya instan nampaknya sudah sedemikian meresap. Siswa terbiasa dengan kedekatan dan kenyamanan teknologi dan mengharapkan segala sesuatu tersedia dengan cepat dan mudah. Masalahnya, ketika mereka harus menghadapi kesulitan hidup nyata yang membutuhkan kesabaran dan proses panjang untuk menyelesaikannya, apakah siap?

Perkembangan teknologi telah melahirkan generasi pelajar yang terbiasa menerima informasi dengan cepat dan mudah. Hal ini mengurangi  kemampuan mereka untuk fokus dan berkonsentrasi dalam jangka waktu yang lebih lama. Akibat lain yang  mulai dirasakan adalah berkurangnya kemampuan berpikir kritis. Dengan banyaknya informasi yang tersedia,   siswa menjadi terlalu bergantung pada solusi yang cepat dan mudah dibandingkan mengembangkan pemikiran kritis untuk menganalisis dan mengevaluasi sesuatu.

Tantangan Budaya TikTok

TikTok adalah platform media sosial yang memungkinkan pengguna membuat dan berbagi video pendek ke khalayak luas. Platform ini menjadi fenomena global dan mempengaruhi budaya populer dalam banyak hal. Video pendek yang biasanya hanya berdurasi 15-60 detik telah menjadi tren baru yang mendorong pengguna untuk membuat konten pendek, menarik, dan seringkali lucu. Kini, budaya TikTok sudah menjadi bagian yang populer dan berpengaruh dalam masyarakat modern.

Selain berbagai kelebihan yang ditawarkan, TikTok ternyata juga menyertakan permasalahan yang tidak sederhana. Cyberbullying misalnya. Seperti halnya platform media sosial lainya, Tiktok dapat menjadi bagian dari perundungan. Pengguna dapat meninggalkan komentar yang menyakitkan atau terlibat dalam pelecehan dan bentuk-bentuk penyalahgunaan online lainnya, yang dapat memiliki konsekuensi serius bagi kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis yang mengalaminya.

Berbagai kemudahan yang disajikan Tiktok dan media sosial lain ternyata juga berdampak pada penurunan kreativitas siswa. Budaya instan telah mencegah siswa meluangkan waktu untuk berpikir secara mendalam dan kreatif tentang masalah dan solusi. Sebaliknya, mereka justru lebih tertarik pada ide pertama yang muncul, daripada mengeksplorasi semua pilihan yang tersedia. Jika keadaan ini dibiarkan terus berlanjut, pada akhirnya dapat menurunkan produktivitas masyarakat.

Penyalahgunaan aplikasi bagi generasi muda kini menjadi tantangan tersendiri. Karena TikTok sangat populer di kalangan anak muda, ada  kekhawatiran tentang eksploitasi anak-anak dan remaja di platform tersebut. Beberapa pengguna  melaporkan diminta  melakukan tindakan seksual atau membagikan konten vulgar oleh pengguna yang lebih tua atau predator yang menyamar sebagai anak-anak. Paparan yang intens seperti ini dapat dengan mudah berdampak pada kelompok rentan dan menyebabkan kehilangan kendali diri.

Body shaming juga sering terjadi. TikTok terkenal dengan tantangan menari dan video sinkronisasi bibir, yang sering kali menampilkan anak muda dengan pakaian terbuka. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang tekanan untuk memenuhi standar kecantikan tertentu, terutama di kalangan remaja perempuan. Body shaming adalah masalah serius yang sering dialami oleh orang-orang dari semua jenis kelamin, usia dan latar belakang. Rasa malu pada tubuh dapat menyebabkan rendahnya harga diri, citra tubuh yang buruk, gangguan makan, dan bahkan menimbulkan perasaan malu, cemas, dan depresi.

Seringkali juga terjadi informasi yang salah di medsos. TikTok dikritik karena perannya dalam menyebarkan mis-informasi dan teori konspirasi, terutama di masa pandemi Covid-19. Beberapa pengguna membagikan informasi palsu tentang virus dan penyebarannya, yang dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi kesehatan masyarakat. Karena sebagian besar pengguna TikTok masih berusia muda dan memiliki pengetahuan dan pengalaman terbatas, dapat dipahami seperti apa dampak dari paparan informasi salah yang viral ini.

Menyikapi Budaya Instan

Budaya instan mengacu pada masyarakat yang menghargai dan memprioritaskan hasil dan kepuasan langsung daripada tujuan jangka panjang. Budaya tersebut diperkuat melalui media sosial (seperti TikTok, dll), makanan cepat saji, dan belanja online. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi budaya ini. Pertama, latih perhatian. Mindfulness adalah upaya untuk hadir sepenuhnya dan terhubung dengan momen. Hal ini dapat membantu siswa memperlambat dan mengapresiasi masa kini daripada selalu melamun tentang masa depan. Salah satu cara melatih mindfulness adalah dengan meditasi, pernapasan dalam, atau yoga.

Kedua, tetapkan tujuan yang realistis. Budaya yang serba cepat dapat membuat siswa merasa harus melakukan segala sesuatu dengan cepat dan efisien, namun hal ini dapat membuat mereka merasa kewalahan dan lelah. Lebih bijaksana jika siswa dibiasakan untuk dapat menetapkan tujuan realistis yang mampu dicapai dalam jangka waktu yang wajar. Ketiga, batasi penggunaan media sosial. Media sosial dapat menjadi bagian penting dari budaya instan, menciptakan ekspektasi akan pembaruan terus-menerus dan kepuasan instan. Oleh karena itu siswa perlu diajari untuk membatasi penggunaan media sosial dan menetapkan aturan main kapan dan di mana penggunaannya.

Keempat,  berlatih menunda  kepuasan.  Kepuasan  yang  tertunda  merupakan  wahana penting bagi pribadi sukses. Suatu keterampinan untuk dapat menunggu imbalan atau hasil, bukan mencari kepuasan sesaat. Hal ini dapat membantu siswa membangun kesabaran dan ketahanan, yang merupakan kualitas penting agar dapat meraih kesuksesan jangka panjang. Kepuasan yang tertunda juga merupakan  kemampuan untuk  menahan godaan untuk  tidak menerima imbalan langsung, demi imbalan yang lebih besar  di kemudian hari. Keterampilan ini penting untuk mencapai tujuan jangka panjang dan dapat membawa kesuksesan yang lebih besar serta kehidupan yang lebih bahagia.

Menguatkan Sosialisasi

Berhubungan langsung dengan orang lain adalah cara terbaik untuk mengimbangi gempuran budaya TikTok. Karena budaya instan bisa jadi mengasingkan, mencoba berhubungan dengan orang lain secara bermakna adalah pilihan bijak. Misalnya dengan menjadi sukarelawan, bergabung dengan klub atau organisasi, atau sekadar menghabiskan waktu bersama teman dan keluarga. Komunikasi tatap muka dengan orang lain merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Ini membantu kita membangun hubungan yang bermakna, membentuk jaringan dukungan sosial, dan meningkatkan rasa memiliki.

Budaya instan merupakan sebuah tren sosial, dan menolak sepenuhnya pengaruh budaya tersebut tentu menjadi tantangan tersendiri. Bermain itu sehat, tetapi terjebak dalam algoritme budaya TikTok dapat menurunkan produktivitas. Dengan mempraktikkan kewaspadaan, menetapkan tujuan yang realistis, membatasi penggunaan media sosial, mempraktikkan penundaan kepuasan, dan meningkatkan kemampuan untuk dapat berhubungan langsung dengan  orang  lain,  siswa  akan lebih mampu mengembangkan ketahanan dan menciptakan kehidupan yang lebih memuaskan. [Ed:DA]

 

No Comments

Add your comment

× Kirim Pesan