MENDIDIK ATAS DASAR CINTA

MENDIDIK ATAS DASAR CINTA

Penulis: Dr. Ali Mahmudi – Ketua Umum Yayasan Silaturrahim Pecinta Anak (SPA) Indonesia

Suatu ketika Khalifah Umar hendak melantik seorang gubernur di suatu wilayah, tiba-tiba seorang anak kecil menghampiri Khalifah Umar. Seketika, Khalifah Umar mencium anak itu dengan penuh kasih sayang. Melihat hal itu, calon gubernur yang akan dilantik itu sangat heran. Ia pun bertanya, “Apakah Anda mencium anak-anak Anda wahai Amirul Mukminin? Aku memiliki 10 anak, tetapi tidak pernah mencium mereka.” Khalifah Umar menanggapi, “Alloh akan melimpahkan kasih sayang kepada hamba-Nya yang hatinya penyayang”. Selanjutnya, Khalifah Umar menyobek surat pengangkatan gubernur itu dan berkata, “Dia tidak memiliki rasa kasih sayang kepada anak-anaknya sendiri. Bagaimana mungkin ia akan menaruh kasih sayang kepada rakyatnya?”

Ini kisah luar biasa yang menunjukkan betapa Islam sangat menjunjung tinggi pentingnya kasih sayang dan cinta. Bahkan Khalifah Umar menjadikannya sebagai prasyarat bagi seseorang yang akan menjadi pemangku kepentingan umat.

Cinta adalah prasyarat yang harus dimiliki oleh siapapun untuk mencapai kesuksesan dalam menjalani profesi apapun, termasuk sebagai pendidik. Tanpa cinta, seorang pendidik akan menjalani profesinya secara kering, tanpa jiwa, dan tentu saja membosankan. Sebaik dan secanggih apapun metode pembelajaran yang digunakan, pendidikan menjadi tidak bermakna bila tidak dibangun atas dasar cinta kepada anak didiknya.

Cinta akan menumbuhkan kepercayaan murid kepada gurunya. Selanjutnya kepercayaan ini akan berimplikasi pada tumbuhnya kewibawaan pada diri guru. Kewibawaan yang kokoh karena dibangun secara sukarela, atas dasar cinta, bukan atas dasar tekanan, apalagi ketakutan.

Cinta adalah bahasa universal yang mudah dipahami oleh siapapun, termasuk anak. Sorot mata atau gerak tubuh guru, jauh lebih cepat ditangkap murid daripada pesan lisan apapun. Secara naluriah, anak dapat mengenali senyum atau sapaan tulus dan membedakannya dengan senyuman atau sapaan basa-basi. Anak juga dapat mengenali kemarahan yang dilakukan sebagai ekspresi cinta atau ekspresi kejengkelan.

Cinta adalah bahasa hati yang dengan mudah ditangkap oleh hati. Cinta akan mengejawantah pada bahasa cinta. Guru yang kaya cinta tidak akan segan untuk memberikan pujian secara proposional kepada muridnya sebagai ungkapan cinta.

Dengan ringan, ia akan berkata, “Kamu telah melakukan pekerjaan dengan sangat baik.” Di lain kesempatan, ia mungkin akan mengatakan “Bagaimana menurut pendapat kalian?” untuk memberi penghargaan. Ia juga tak berat untuk mengucapkan “terima kasih ya …”. Guru yang kaya cinta juga lebih banyak menggunakan kata ‘kita’ daripada ‘saya’ untuk menunjukkan kehangatan hubungan dengan muridnya.

Cinta tidak selalu identik dengan kelembutan atau keserbabolehan. Cinta mungkin saja mewujud pada tindakan tegas demi terwujudnya ketertiban atau kebaikan. Untuk alasan yang tepat, dengan kadar yang tepat, dan pada waktu yang tepat, guru boleh saja marah jika diperlukan.  Murid yang menaruh kepercayaan kepada gurunya akan memaknai setiap tindakan gurunya, termasuk marah, sebagai wujud cinta. Marah karena cinta, menegur karena cinta, atau bahkan membentak karena cinta.

Bagaimanapun juga, tidak selalu mudah bagi guru untuk membangun hubungan atas dasar cinta dengan muridnya. Terhadap hal ini, ada baiknya diperhatikan pepatah jawa “witing tresno jalaran soko kulino”. Artinya, “cinta tumbuh dari pembiasaan”. Seiring waktu, guru semestinya dapat menemukan hal-hal yang dapat menginspirasi tumbuhnya rasa cinta kepada profesi dan muridnya. Keceriaan, keluguan, kejujuran, atau spontanitas anak adalah hal-hal yang dapat menginspirasi tumbuhnya cinta.

Selain itu, tentu saja guru perlu mengingat hadits Rasululloh yang menjanjikan kemuliaan, “Barang siapa keluar dengan tujuan menuntut ilmu, maka ia di jalan Alloh sampai ia kembali” (HR Tirmidzi). Janji kemuliaan lain adalah, “Barang siapa yang berpegang dengan suatu cara dan dia mempunyai ilmu tentangnya, Alloh akan memudahkan baginya jalan ke surga” (HR Muslim). Inilah alasan-alasan ilahiyah yang menumbuhkan kecintaan akan profesi guru.

Dalam membangun hubungan atas dasar cinta, guru sudah semestinya selalu mengingat peran Alloh, dzat pemilik segala cinta. Setelah berdoa untuk kebaikan diri dan keluarga, seorang guru perlu berdoa untuk kebaikan dan kesuksesan siswanya. Ia juga perlu memohon agar Alloh menghadirkan rasa cinta akan profesi mulia yang dijalani. Dalam hal ini, guru dapat mempraktikkan doa yang dipanjatkan oleh Nabi Daud AS., “Yaa Alloh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu cinta-Mu dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan aku memohon kepada-Mu perbuatan yang dapat mengantarku kepada cinta-Mu”.

Setiap guru perlu menyadari, jika Alloh mencintainya, mudah saja bagi Alloh untuk menanamkan cinta ke dalam hati manusia kepada dirinya. Tetapi bila Alloh membenci dirinya, betapa tak bergunanya cinta manusia kepada dirinya.

Tema cinta mungkin telah banyak dibahas. Meski demikian, kiranya tidak akan pernah usang untuk selalu diulas. Bagi guru atau siapapun termasuk orang tua, cinta dapat menyegarkan kembali niat tulus mereka dalam menjalani peran sebagai pendidik. Guru perlu menakar kembali kadar kecintaan mereka pada murid sekaligus profesi keguruannya. [Ed:DA]

 

No Comments

Add your comment

× Kirim Pesan