MELURUSKAN NIAT KEGURUAN

MELURUSKAN NIAT KEGURUAN

Penulis: Sigit Warsita, M.A selaku Pembina Yayasan Silaturrahim Pecinta Anak (SPA) Indonesia

Rasulullah adalah manusia terbaik perkataannya, karena beliau menyeru manusia kepada agama Allah. Inilah diantara makna surat Fushilat:33

وَمَنْ اَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّنْ دَعَآ اِلَى اللّٰهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَّقَالَ اِنَّنِيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

Artinya: Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan kebajikan, dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)?

Para ulama’ juga berpendapat kemuliaan ini mencakup semua orang yang menyeru orang lain untuk menaati Allah. Dengan penyebutan “perkataan yang paling baik”, seakan-akan Allah menegaskan bahwa tugas dakwah adalah tugas yang paling mulia.

Dakwah adalah semangat untuk mentransfer kebaikan kepada orang lain di sekelilingnya. Kebaikan tidak hanya berhenti pada dirinya, tetapi juga untuk orang lain. Memang, setiap orang dituntut untuk memelihara diri dan keluarga agar selamat. Namun keselamatan diri dan keluarga tidaklah cukup. Tidak patut seseorang berkata, “Yang penting aku dan keluargaku selamat”. Ucapan semacam ini bertolak dari sikap egois dan mementingkan diri sendiri. Sebaliknya, Islam mengajarkan konsep kebersamaan, saling berwasiat dalam kebaikan dan kesabaran, saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan. Di sinilah dakwah menjadi mulia dan bahkan sebuah keharusan.

Diantara sekian banyak profesi, guru adalah profesi yang hari-harinya diisi dengan tugas dakwah. Dia selalu mentransfer kebaikan kepada orang lain, murid-muridnya. Diantara sekian banyak profesi lain, guru memiliki keistimewaan sehingga disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Lazimnya, gelar pahlawan diberikan kepada mereka yang berjuang menyelamatkan bangsa dari penjajahan. Guru adalah sosok pahlawan yang bersenjatakan ilmu, menyelamatkan anak-anak dari bahaya kebodohan dan kerusakan moral. 

Menjadi guru adalah memilih untuk memasuki gerbong kemuliaan. Sepatutnya setiap guru merasa bahagia dan bangga dengan profesinya. Seluruh pekerjaannya menjadi amal shalih. Ucapannya selalu mengajak kepada kebaikan menuju kepada Allah. Perilakunya menjadi contoh teladan. Guru adalah manusia terbaik karena hidupnya dikhidmatkan untuk menebar kebaikan. Pahala kebaikannya akan mengalir sepanjang masa, melampaui umur biologis yang terbatas.  Setiap kebaikan yang dilakukan oleh muridnya-muridnya, dia akan mendapat kebaikan pahala. Terlebih jika kebaikan itu diajarkan lagi kepada orang dan berlaku seterusnya hingga hari kiamat.

Demikian besar keberkahan dalam tugas dakwah dan keguruan. Tugas dakwah dan keguruan adalah kemuliaan, sehingga pelaksanaannya tidak pantas dikotori oleh kehinaan. Diantara hal yang dapat mengotori tugas keguruan adalah tidak lurusnya niat. ungkapan Imam Ghazali mengingatkan, tugas keguruan tidak boleh diniatkan untuk memperoleh tujuan-tujuan duniawi, baik untuk mendapatkan harta, kedudukan atau ketenaran. Ketika tujuan amal tidak karena Allah tapi untuk mengejar dunia, maka kita akan terlunta-lunta dalam kesengsaraan. Dunia yang kita kejar dan impikan, belum tentu kita dapatkan. Andai dunia itu kita dapatkan, jumlahnya tidak akan melebihi ketentuan takdir yang Allah tetapkan. Bukankah Dia yang telah menentukan jatah rizki seseorang sejak sebelum dilahirkan?

Jika orientasi duniawi ini sangat kuat, orang Jawa menyebutnya “kedonyan”. Satu-satunya motivasi yang membuatnya tertarik untuk berbuat, semata karena dunia. Jika tidak ada imbalan dunia, dia tidak tertarik. Setiap gerak dan tetesan keringatnya, dikonversi dengan imbalan rupiah. Dia serba perhitungan. Setiap ada amanah dan tugas yang bebankan, dia selalu bertanya, “apakah ada honornya, apa keuntungan buat dirinya?” Setiap aktifitasnya selalu berpusat pada orientasi memperoleh keuntungan bagi dirinya, tidak ada nilai khidmat yang hendak dia berikan untuk kebaikan dan kemanfaatan orang lain.

Orang yang “kedonyan” bermental rapuh. Ketika harapan-harapannya tidak terwujud, dia akan berputus asa. Ketika imbalan, sanjungan dan ketenaran tidak dia dapatkan, ia akan berhenti. Sebaliknya, ketika pekerjaannya sukses, ia akan membanggakan diri dan sombong karena dia merasa kesuksesan itu berkat perannya. Jika perannya tidak diakui atau namanya tidak disebut, dia akan marah dan sakit hati. Orang-orang semacam ini, tidak bisa diharapkan perannya untuk berjuang. Kinerjanya rendah.

Imam Syafi’i adalah ulama’ besar dengan banyak karya dan murid. Namun beliau tidak ingin dikenal atau terkenal. Beliau mengatakan, “Aku ingin agar setiap huruf yang aku pernah ajarkan kepada muridku-muridku dilupakan dan tak ada yang menghitungnya.” Amal dan karyanya terus berjalan, tetapi dirinya sudah tidak lagi perlu untuk disebut oleh siapa pun. Bahkan ia ingin agar dilupakan.

Sementara di tempat lain, ada orang yang amalnya tak seberapa, namun selalu ingin disebut. Jika ada yang lupa menyebutnya, dia akan marah dan menuding orang lain “tak tahu balas budi”. Yang lebih aneh lagi, ada orang yang tidak berkontribusi apa-apa, namun mencitrakan dirinya sebagai kontributor utama.

Wahai para guru. Tugas keguruan adalah tugas mulia yang dilaksanakan oleh mereka yang mempunyai kekuatan khidmat dan orientasi yang lurus karena Allah. Apakah berarti seorang guru tidak boleh menerima gaji dan honor? Tentu saja tidak. Lembaga didukung oleh seluruh wali siswa, bertanggungjawab untuk memikirkan fasilitasi bagi kehidupan guru. Namun, andai fasilitas itu tidak seindah yang diimpikan, keterbatasan ini janganlah sekali-sekali menjadi alasan untuk keluar dari gerbong kemuliaan. [Ed:DA]

 

No Comments

Add your comment

× Kirim Pesan